Wednesday, 8 August 2012

Tan Malaka



Tan Malaka yang bernama asli Sutan Ibrahim, dan memilki gelar Datuk Tan Malaka, lahir di Nagari Pandan Gadang (Pondom Godang), Suliki, Sumatera Barat. Tidak ada keterangan yang seragam perihal tanggal, bulan, dan tahun kelahirannya. Pada setiap tulisan tentangnya, memiliki catatan yang berbeda-beda. Namun, agar tidak membingungkan, menurut informasi rata-rata yang ada, Tan Malaka lahir pada tanggal 2 Juni 1897.

Ia termasuk salah seorang tokoh bangsa yang sangat luar biasa, namun sengaja dihilangkan dan dilupakan dalam sejarah Indonesia. Ia salah seorang aktivis pejuang nasionalis Indonesia, seorang pemimpin komunis, dan politisi yang mendirikan Partai Murba (Musyawarah Masyarakat Banyak).

Bahkan, bisa dikatakan, ia memiliki kesejajaran dengan tokoh-tokoh nasional Indonesia lain yang membawa bangsa Indonesia meraih kemerdekaan, seperti : Soekarno, Hatta, Syahrir, Moh. Yamin, dan lain-lain.


Pejuang yang militan, radikal, dan revolusioner ini banyak melahirkan pemikiran-pemikiran yang berbobot dan berperan besar dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan perjuangan yang gigih, maka ia pun dikenal sebagai tokoh revolusioner yang legendaris.

Dia kukuh mengkritik terhadap pemerintah kolonial Hindia-Belanda, maupun pemerintahan republik Indonesia di bawah pimpinan Soekarno pasca-revolusi kemerdekaan Indonesia. Walaupun berpandangan komunis, ia juga sering terlibat konflik dengan kepemimpinan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Tan Malaka menghabiskan sebagian besar hidupnya dalam pembuangan di luar Indonesia, dan secara tak henti-hentinya terancam dengan penahanan oleh penguasa Belanda dan sekutu-sekutu mereka.

Walaupun secara jelas disingkirkan, Tan Malaka dapat memainkan peran intelektual penting dalam membangun jaringan gerakan komunis internasional untuk gerakan anti penjajahan di Asia Tenggara. Ia dinyatakan sebagai "Pahlawan Revolusi Nasional" melalui ketetapan parlemen dalam sebuah undang-undang tahun 1963, Ketetapan Presiden RI No. 53 tanggal 23 Maret 1963.

Tan Malaka juga seorang pendiri partai Murba, yang berasal dari Sarekat Islam (SI) Jakarta dan Semarang. Ia dibesarkan dalam suasana semangat gerakan modernis Islam Kaoem Moeda, Sumatera Barat.

Tokoh ini diduga kuat sebagai orang di belakang peristiwa penculikan Sutan Sjahrir bulan Juni 1946 oleh "sekelompok orang tak dikenal" di Surakarta, sebagai akibat perbedaan pandangan perjuangan dalam menghadapi Belanda.


Riwayat Hidup



Ia menjadi pelajar sekolah pendidikan guru. Karena cerdas, saat berumur 16 tahun, ia dikirim ke Negeri Belanda dan mengikuti pendidikan guru lanjutan di Kota Haarlem, 1912, dan ‘berguru’ pada pemuka komunis Belanda, Henk Sneevliet. Sneevliet pernah menjabat gubernur jenderal di Hindia Belanda dan mencoba mendirikan partai komunis di Indonesia.

Tan Malaka tinggal di Bussum, Belanda Utara, antara 1915-1920 dan aktif di Communistische Internationale (Komintern) untuk kawasan Asia Timur, meski ia bukan penganut aliran komunis di Moskwa. Karena Perang Dunia I berkecamuk di Eropa (1914-1918), Tan Malaka terhalang pulang ke Tanah Air. Ia terpaksa hidup berdikari dan selama tahun-tahun itu berkenalan dengan ideologi sosialisme dan komunisme.


Di tahun 1919, ia kembali ke Indonesia dan bekerja sebagai guru di sekolah yang didirikan oleh perusahaan perkebunan Eropa di Deli, Sumatera Timur. Gajinya setaraf dengan gaji seorang guru Belanda. Ia tidak tahan melihat tindasan yang diderita para kuli perkebunan yang didatangkan dari Pulau Jawa. Ketimpangan sosial yang dilihatnya di lingkungan perkebunan, antara kaum buruh dan tuan tanah menimbulkan semangat radikal pada diri Tan Malaka muda.

Februari 1921, Tan Malaka minta berhenti dan pergi ke Semarang, di mana sebuah partai baru, Partai Komunis Indonesia (PKI) belum lama berdiri. Partai baru itu muncul dari ribaan Sarekat Islam (SI) dan ingin terus berlindung di belakangnya sambil melakukan kegiatan agitasinya.

Dan ia bertemu dengan Semaun dan mulai terjun ke kancah politik dan mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) kala itu, mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda.


Saat kongres PKI 24 - 25 Desember 1921, Tan Malaka diangkat sebagai pimpinan partai. Meski berhaluan komunis, Tan Malaka hampir selalu bertentangan dengan para pemimpin Partai Komunis Indonesia terdahulu, seperti Alimin dan Semaun.

Januari 1922 ia ditangkap dan dibuang ke Kupang. Dengan keputusan gubernur jenderal Belanda, ia dikenakan hukuman pembuangan. Tan Malaka memilih Negeri Belanda sebagai tempat pengasingannya pada Maret 1922, dan diterima dengan tangan terbuka oleh Partai Komunis Belanda CPH (Communistische Partij Holland). Bahkan, CPH mengirimnya ke Kongres Komintern IV di Moskwa, dan mengikuti program pendidikan partai komunis, kemudian mengembara hingga ke Berlin.

Tan Malaka menghadiri Kongres International Partai-partai Komunis (Kominform) di Moskwa pada November 1922. Ia kemudian diangkat sebagai Wakil Kominform untuk seluruh Asia Tenggara. Selanjutnya, Komintern menugaskan Malaka mewakili kepentingan mereka di Asia Tenggara mulai 1923. Dan lambat laun ia mulai punya ide sendiri seputar revolusi Asia.

Maka mulailah pengembaraannya selama 20 tahun, diuber-uber polisi rahasia di Manila, Hong Kong, Bangkok, Singapura, dan ibu kota lainnya, sebelum ia kembali ke Tanah Air pada 1942, setelah militer Jepang menguasai Asia Tenggara.

Pernah di tahun 1922, Tan Malaka melontarkan ide Pan-Islamisme. Ia menganggap, partai ‘radikal’ Sarekat Islam dapat ditaklukkan dan ingin membentuk masyarakat sosialis. Tetapi sewaktu PKI di tahun 1926 mendapat dukungan Stalin untuk kudeta, ia berubah haluan.

Menurutnya, waktunya belum matang dan ia menentang makar yang dipimpin oleh penerusnya, Muso dan Alimin. Tan Malaka lebih setuju dengan aksi massa. Sayang, aksinya gagal. Kegagalan aksinya menyebabkan ia kehilangan kontak dengan PKI dan Komintern, walaupun jiwa berontaknya tetap berkobar.


Yang penting dicatat selama periode itu adalah brosur yang ditulis dan diterbitkannya pada 1924 dalam bahasa Belanda dan diterjemahkan ke bahasa Indonesia. Judulnya : "Menuju Republik Indonesia".

Meskipun brosur itu terpaksa harus diselundupkan ke Indonesia dan beredar secara terbatas, dampaknya di kalangan pergerakan kebangsaan amat besar. Untuk pertama kalinya konsep "Republik Indonesia" dicanangkan. Karena berbagai persoalan, pada tahun 1927 Tan Malaka putus arang dengan Moskwa.

Pada Juli 1927, Tan Malaka dengan beberapa kawannya mendirikan Partai Republik Indonesia (PARI) di Bangkok. Diusahakan untuk mendirikan cabang-cabang di beberapa tempat di Indonesia, tapi dengan mudah ditumpas oleh polisi rahasia Hindia Belanda.

Demikianlah Tan Malaka meneruskan pengembaraannya, sampai-sampai ke Tiongkok Selatan dan berkembang sebagai seorang komunis-nasionalis, seperti juga pemimpin Vietnam, Ho Chi Minh dan
Che Guavara, pemimpin Cuba.

Di tahun 20-an ia sering disebut Bapak Republik Indonesia. Ia yang pertama kali membuat sketsa bentuk negara Indonesia dengan paham sosialis. Pihak kolonial Belanda pun mengganggap Tan Malaka sebagai ancaman serius.

Ia sendiri tidak hadir sewaktu Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, kendati sesudahnya ia sempat berbicara beberapa kali dengan Presiden Soekarno.


Iljas Hussein (nama samaran Tan Malaka), bertatap muka dengan Soekarno pada 9 September 1945. Soekarno amat terkesan dengan Tan Malaka dan spontan menunjuknya sebagai penggantinya kelak. Hatta keberatan dan akhirnya Soekarno membuat ‘testamen politik’ berisi empat calon pengganti presiden dan wapres, jika kedua pemimpin negara tiba-tiba wafat.

Surat wasiat tersebut seakan jadi senjata pamungkas Tan Malaka. Mengantungi testamen itu, ia leluasa menggalang massa di Jawa, kendati tetap menggunakan nama Iljas Hussein.



Perjuangan

[Image: tanmalakait5.jpg]

Pada tahun 1921 Tan Malaka telah terjun ke dalam gelanggang politik. Dengan semangat yang berkobar dari sebuah gubuk miskin, Tan Malaka banyak mengumpulkan pemuda-pemuda komunis. Pemuda cerdas ini banyak juga berdiskusi dengan Semaun (wakil ISDV) mengenai pergerakan revolusioner dalam pemerintahan Hindia Belanda.

Selain itu juga merencanakan suatu pengorganisasian dalam bentuk pendidikan bagi anggota-anggota PKI dan SI (Sarekat Islam) untuk menyusun suatu sistem tentang kursus-kursus kader serta ajaran-ajaran komunis, gerakan-gerakan aksi komunis, keahlian berbicara, jurnalistik dan keahlian memimpin rakyat. Namun pemerintahan Belanda melarang pembentukan kursus-kursus semacam itu sehingga mengambil tindakan tegas bagi pesertanya.

Melihat hal itu Tan Malaka mempunyai niat untuk mendirikan sekolah-sekolah sebagai anak-anak anggota SI untuk penciptaan kader-kader baru. Juga dengan alasan-alasan :

Pertama, memberi banyak jalan (kepada para murid) untuk mendapatkan mata pencaharian di dunia kapitalis (berhitung, menulis, membaca, ilmu bumi, bahasa Belanda, Melayu, Jawa dan lain-lain)

Kedua, memberikan kebebasan kepada murid untuk mengikuti kegemaran mereka dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan

Ketiga, untuk memperbaiki nasib kaum miskin. Untuk mendirikan sekolah itu, ruang rapat SI Semarang diubah menjadi sekolah. Dan sekolah itu bertumbuh sangat cepat hingga sekolah itu semakin lama semakin besar.

Perjuangan Tan Malaka tidaklah hanya sebatas pada usaha mencerdaskan rakyat Indonesia pada saat itu, tapi juga pada gerakan-gerakan dalam melawan ketidakadilan seperti yang dilakukan para buruh terhadap pemerintahan Hindia Belanda lewat VSTP dan aksi-aksi pemogokan, disertai selebaran-selebaran sebagai alat propaganda yang ditujukan kepada rakyat agar rakyat dapat melihat adanya ketidakadilan yang diterima oleh kaum buruh.

Seperti dikatakan Tan Malaka pada pidatonya di depan para buruh :

“Semua gerakan buruh untuk mengeluarkan suatu pemogokan umum sebagai pernyataan simpati, apabila nanti mengalami kegagalan maka pegawai yang akan diberhentikan akan di dorongnya untuk berjuang dengan gigih dalam pergerakan revolusioner.”

Pergulatan Tan Malaka dengan partai komunis di dunia sangatlah jelas. Ia tidak hanya mempunyai hak untuk memberi usul-usul dan dan mengadakan kritik, tetapi juga hak untuk mengucapkan vetonya atas aksi-aksi yang dilakukan partai komunis di daerah kerjanya.


Tan Malaka juga harus mengadakan pengawasan supaya anggaran dasar, program, taktik dari Komintern (Komunis Internasional) dan Profintern seperti yang telah ditentukan di kongres-kongres Moskwa, diikuti oleh kaum komunis dunia. Dengan demikian tanggung-jawabnya sebagai wakil Komintern lebih berat dari keanggotaannya di PKI.

Sebagai seorang pemimpin yang masih sangat muda, ia meletakkan tanggung jawab yang sangat berat pada pundaknya. Tan Malaka dan sebagian kawan-kawannya memisahkan diri dan kemudian memutuskan hubungan dengan PKI, Sardjono-Alimin-Musso.

Pemberontakan 1926 yang direkayasa dari Keputusan Prambanan yang berakibat bunuh diri bagi perjuangan nasional rakyat Indonesia melawan penjajah waktu itu hanya merupakan gejolak kerusuhan dan keributan kecil di beberapa daerah di Indonesia, maka dengan mudah dalam waktu singkat pihak penjajah Belanda dapat mengakhirinya.

Akibatnya ribuan pejuang politik ditangkap dan ditahan. Ada yang disiksa, ada yang dibunuh dan banyak yang dibuang ke Boven Digoel, Irian Jaya. Peristiwa ini dijadikan dalih oleh Belanda untuk menangkap, menahan dan membuang setiap orang yang melawan mereka, sekalipun bukan PKI. Maka, perjuangan nasional mendapat pukulan yang sangat berat dan mengalami kemunduran besar serta lumpuh selama bertahun-tahun.

Tan Malaka yang berada di luar negeri pada waktu itu, berkumpul dengan beberapa temannya di Bangkok. Di ibu kota Thailand itu, bersama Soebakat dan Djamaludddin Tamin, Juni 1927 Tan Malaka memproklamasikan berdirinya Partai Republik Indonesia (PARI).

Dua tahun sebelumnya Tan Malaka telah menulis "Menuju Republik Indonesia". Itu ditunjukkan kepada para pejuang intelektual di Indonesia dan di negeri Belanda. Terbitnya buku itu pertama kali di Kowloon, Hong Kong, April 1925.

Prof. Mohammad Yamin, dalam karya tulisnya "Tan Malaka Bapak Republik Indonesia" memberi komentar :

"Tak ubahnya daripada Jefferson Washington merancangkan Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaannya tercapai, atau Rizal Bonifacio meramalkan Philippina sebelum revolusi Philippina pecah…."


Madilog



Madilog merupakan istilah baru dalam cara berpikir, dengan menghubungkan ilmu bukti serta mengembangkan dengan jalan dan metode yang sesuai dengan akar dan urat kebudayaan Indonesia sebagai bagian dari kebudayaan dunia. Bukti adalah fakta dan fakta adalah lantainya ilmu bukti.

Bagi filsafat, idealisme yang pokok dan pertama, adalah budi (mind), kesatuan, pikiran, dan penginderaan. Filsafat materialisme menganggap alam, benda, dan realita nyata obyektif sekeliling sebagai yang ada, yang pokok dan yang pertama.

Bagi Madilog (Materialisme, Dialektika, Logika) yang pokok dan pertama adalah bukti, walau belum dapat diterangkan secara rasional dan logika, tapi jika fakta sebagai landasan ilmu bukti itu ada secara konkrit, sekalipun ilmu pengetahuan secara rasional belum dapat menjelaskannya dan belum dapat menjawab apa, mengapa, dan bagaimana.

Semua karya Tan Malaka dan permasalahannya didasari oleh kondisi Indonesia. Terutama rakyat Indonesia, situasi dan kondisi nusantara serta kebudayaan, sejarah lalu diakhiri dengan bagaimana mengarahkan pemecahan masalahnya.

Cara tradisi nyata bangsa Indonesia dengan latar belakang sejarahnya bukanlah cara berpikir yang teoritis dan untuk mencapai Republik Indonesia sudah dia cetuskan sejak tahun 1925 lewat Naar de Republiek Indonesia.

Jika membaca karya-karya Tan Malaka yang meliputi semua bidang kemasyarakatan, kenegaraan, politik, ekonomi, sosial, kebudayaan sampai kemiliteran (Gerpolek-Gerilya-Politik dan Ekonomi, 1948), maka akan ditemukan benang putih keilmiahan dan ke-Indonesia-an serta benang merah kemandirian, sikap konsisten yang jelas dalam gagasan-gagasan serta perjuangannya.


Pahlawan

http://www.padangkini.com/foto/headline/TAN%20MALAKA.jpg

Tan Malaka mulai menunjukkan sifat progresifnya. Di sebuah rapat terbuka pada 4 Januari 1946, Iljas Hussein membuka jati diri sebenarnya. Ia melansir slogan ‘100% Merdeka’ dan membentuk barisan kiri Persatuan Perjuangan. Selain kemerdekaan Indonesia sepenuhnya, Malaka berencana 'menganeksasi' seluruh pabrik dan perusahaan Belanda.

Ia sangat antipati dengan sikap Soekarno dan Hatta terkait perundingan dengan Belanda. Konsep taktik gerilya sudah dirancangnya. Klimaks perjalanan karir politiknya dicapai di tahun 1946 dengan didirikannya front kiri Persatuan Perjuangan. Hanya saja, ambisinya dapat dibendung oleh Soekarno.

Sepintas, Tan Malaka dengan partainya ada di pucuk pimpinan revolusi. Sjahrir mengundurkan diri pada 23 Januari 1946. Soekarno dan Hatta disudutkan dan tak punya alternatif lain. PKI mendukung langkah diplomatis Sjahrir. PKI sudah muak dengan Tan Malaka dan menganggapnya sosok komunis berbahaya.

Soekarno dan Hatta pun mendukung Sjahrir dan memerintahkan untuk membentuk kabinet baru. Prioritas program kerja kabinet Sjahrir adalah menumpas oposisi. Tan Malaka ditangkap pada 17 Maret 1946 dan dijebloskan ke penjara selama 2,5 tahun. Pamornya drastis pudar dan perannya di panggung politik sirna.

Walaupun Tan Malaka cakap berpidato, ia jarang tampil di depan publik. Jabatan menteri dan pimpinan partai ditolaknya hingga dua kali. Kritiknya yang pedas terhadap TNI juga seringkali menyebabkan ia harus bersitegang dengan Jenderal Sudirman.

Peristiwa 3 Juli 1946 yang didahului dengan penangkapan dan penahanan Tan Malaka bersama pimpinan Persatuan Perjuangan, di dalam penjara tanpa pernah diadili selama dua setengah tahun. Setelah meletus pemberontakan FDR/PKI di Madiun, September 1948 dengan pimpinan Musso dan Amir Syarifuddin, Tan Malaka dikeluarkan begitu saja dari penjara akibat peristiwa itu, sebagai pengimbang terhadap gerakan PKI-Muso.

Di luar, setelah mengevaluasi situasi yang amat parah bagi Republik Indonesia akibat Perjanjian Linggajati 1947 dan Renville 1948, yang merupakan buah dari hasil diplomasi Sutan Syahrir dan Perdana Menteri Amir Syarifuddin, Tan Malaka merintis pembentukan Partai Murba, 7 November 1948 di Yogyakarta.

Setelah serangan umum Belanda 19 Desember 1948 ketika Yogya diduduki, maka sebagai keputusan politik, Presiden Soekarno, Wakil Presiden Moh Hatta dan sejumlah anggota kabinet tidak meninggalkan ibu kota. Mereka menjadi tahanan militer Belanda.

Pada tahun 1949 tepatnya bulan Februari Tan Malaka hilang tak tentu rimbanya, mati tak tentu kuburnya di tengah-tengah perjuangan bersama Gerilya Pembela Proklamasi di Pethok, Kediri, Jawa Timur.

Tapi akhirnya misteri tersebut terungkap juga dari penuturan Direktur Penerbitan Institut Kerajaan Belanda untuk Studi Karibia dan Asia Tenggara atau KITLV, Harry A Poeze, seorang Sejarawan Belanda yang menyebutkan, bahwa :

"Tan Malaka yang bergerak di Jawa Timur, di daerah sebelah barat Kota Kediri, seberang Kali Brantas melakukan agitasi bahwa kepemimpinan Soekarno-Hatta sudah berakhir. Pada 9 Februari 1949 di Desa Tegoran, menurut undangan diacarakan rapat koordinasi para komandan yang bergerilya di daerah itu.

Ternyata, rapat itu menjadi ajang agitasi politik bagi Tan Malaka (dengan nama samaran Pak Usin) yang berpidato selama lebih sejam. Pada malam itulah tanpa dinyatakan secara formal dibentuk Gabungan Pembela Proklamasi.

Ia juga rajin mengedarkan pamflet-pamflet politik yang ditulisnya sendiri dengan alamat "Markas Murba Terpendam". Salah satu pamflet itu mencerca para perwira TNI, antara lain nama Kol Sungkono disebut, komandan Jawa Timur, "yang lari terbirit-birit ke Gunung Wilis diuber pasukan Belanda".

Di periode perang gerilya menghadapi Belanda pada belahan pertama tahun 1949 di mana hukum militer berlaku, sikap komandan setempat menghadapi agitasi yang diorganisir oleh Tan Malaka, termasuk menyusun kekuatan bersenjata, dan tidak mengakui lagi kepemimpinan Soekarno-Hatta atau pun PDRI di Sumatera, sudah dapat diramalkan.

Letkol Surachmad, komandan "Wehrkreisse" di daerah tersebut mengeluarkan surat perintah rahasia yang mencap gerakan Tan Malaka sebagai mengancam eksistensi RI. Ia lapor kepada Kol Sungkono bahwa tindakan keras akan dilakukan terhadap Tan Malaka dan pengikutnya.

Pada malam 21 Februari 1949, Letnan Dua Sukotjo dan anak buahnya menangkap Tan Malaka di Desa Selongpanggung, dekat Tonggoel. Tan Malaka dieksekusi oleh anak buahnya bernama Suradi Tekebek. Poeze berhasil menggali fakta-fakta itu setelah bertahun-tahun melakukan penelitian dan mengunjungi lokasinya."

Dr. Harry Poeze mengungkapkan emosinya sedikit dan tinggalkan objektivitasnya sebagai ilmuwan sejarah ketika di salah satu catatan kaki bukunya, ia memakai istilah "pembunuh Tan Malaka" (moordenaar) dan kata "schuld" (rasa bersalah). Padahal di bagian lainnya, penulis akui bahwa hukum militer berlaku dalam situasi perang melawan Belanda.

Berdasarkan keputusan Presiden RI No. 53, yang di tandatangani Presiden Soekarno 28 Maret 1963 menetapkan, bahwa Tan Malaka adalah seorang pahlawan kemerdekaan Nasional. Namun, pada saat Soekarno lengser dari jabatannya tahun 1967 sebagai presiden RI, Soeharto sebagai penggantinya, mencabut gelar tersebut, karena alasan keterlibatan Tan Malaka dengan PKI.


Tan Malaka Dalam Fiksi

http://ma6ma.files.wordpress.com/2008/09/tan_malaka_a1015a.jpg

Dengan julukan Patjar Merah Indonesia, Tan Malaka merupakan tokoh utama beberapa roman picisan yang terbit di Medan. Roman-roman tersebut mengisahkan petualangan Patjar Merah, seorang aktivis politik yang memperjuangkan kemerdekaan Tanah Air-nya, Indonesia, dari kolonialisme Belanda. Karena kegiatannya itu, ia harus melarikan diri dari Indonesia dan menjadi buruan polisi rahasia internasional.

Salah satu roman Patjar Merah yang terkenal, adalah roman karangan Matu Mona yang berjudul Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Nama Pacar Merah sendiri berasal dari karya Baronesse Orczy yang berjudul Scarlet Pimpernel, yang berkisah tentang pahlawan Revolusi Prancis.

Dalam cerita-cerita tersebut selain Tan Malaka, muncul juga tokoh-tokoh PKI dan PARI lainnya, yaitu Muso (sebagai Paul Mussotte), Alimin (Ivan Alminsky), Semaun (Semounoff), Darsono (Darsnoff), Djamaluddin Tamin (Djalumin) dan Soebakat (Soe Beng Kiat).

Kisah-kisah fiksi ini turut memperkuat legenda Tan Malaka di Indonesia, terutama di Sumatera.


Beberapa judul kisah Patjar Merah :

* Matu Mona. Spionnage-Dienst (Patjar Merah Indonesia). Medan (1938)

* Matu Mona. Rol Patjar Merah Indonesia cs. Medan (1938)

* Emnast. Tan Malaka di Medan. Medan (1940)

* Tiga kali Patjar Merah Datang Membela (1940)

* Patjar Merah Kembali ke Tanah Air (1940)


Buku

http://t1.gstatic.com/images?q=tbn:zba5gAAlwKm1uM:http://i395.photobucket.com/albums/pp39/prys3107/MADILOG.png&t=1

* Menuju Republik Indonesia

* Dari Pendjara ke Pendjara, autobiografi

* Madilog

* Gerpolek

(",)v




Sumber : siradel.blogspot.com

No comments:

Post a Comment

“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”