Wednesday, 18 May 2011
Lutung Kasarung Dan Purbasari
Dahulu kala, hiduplah seorang raja yang adil dan bijaksana di Kerajaan Pasir Batang, Prabu Tapa Agung namanya. Beliau dianugerahi tujuh orang putri. Ketujuh putrinya itu, sudah menikah sejak remaja dan semuanya memiliki paras yang cantik jelita.
Berurutan mereka itu adalah Purbararang, Purbadewata, Purbaendah, Purbakancana, Purbamanik, Purbaleuih, dan si bungsu Purbasari. Yang paling cantik dan paling manis budi pekertinya adalah Purbasari. Dia menjadi buah hati seluruh rakyat Kerajaan Pasir Batang.
Putri sulung Purbararang sudah bertunangan dengan Raden Indrajaya, putra salah seorang mentri kerajaan. Kepada Purbararang dan Indrajaya-lah seharusnya Prabu Tapa Agung dapat mempercayakan kerajaan. Akan tetapi, walaupun beliau sudah lanjut usia dan sudah waktunya turun tahta, beliau belum leluasa untuk menyerahkan mahkota kerajaannya. Karena, baik Purbararang maupun Indrajaya, belum dapat beliau percaya sepenuhnya.
Sang Prabu merasa sebagai putri sulung, Perangai Purbararang tidak sesuai dengan yang diharapkan dari seorang pemimpin kerajaan. Purbararang mempunyai sifat angkuh dan kejam, sedangkan Indrajaya adalah seorang pesolek. Bangsawan muda itu akan lebih banyak memikirkan pakaian dan perhiasan untuk dirinya, daripada mengurus keamanan dan kesejahteraan rakyat kerajaan.
Menghadapi masalah seperti itu, Prabu Tapa Agung sering bermuram durja. Demikian pula permaisurinya, ibunda ketujuh putri itu. Mereka seringkali membicarakan masalah tersebut, akan tetapi tidak ada jalan keluar yang mereka temukan.
Namun, kiranya kerisauan dan kebingungan raja yang baik itu diketahui oleh Sunan Ambu yang bersemayam di kahyangan atau Buana Pada. Pada suatu malam, ketika Prabu Tapa Agung tidur, beliau bermimpi. Di dalam mimpinya itu, Sunan Ambu berkata, “Wahai Raja yang baik, janganlah engaku risau dan bermuram durja. Sudah saatnya engkau beristirahat. Tinggalkanlah istana. Tinggalkanlah tahta kepada putri bungsu Purbasari. Laksanakanlah keinginanmu untuk jadi pertapa.”
Setelah itu, tiba-tiba beliau terbangun, dan hilanglah kerisauan yang selama ini bersemayam di hati beliau. Petunjuk yang didapatkannya lewat mimpi dari khayangan itu, benar-benar dapat melegakan hati beliau dan permaisurinya.
Keesokan harinya, sang Prabu mengumpulkan ketujuh putri beliau, pembantu, penasehat beliau yang setia, yaitu Uwak Batara Lengser, patih, para menteri dan pembesar-pembesar kerajaan lainnya. Beliau menyampaikan perintah Sunan Ambu dari Kahyangan, bahwa sudah saatnya beliau turun tahta dan menyerahkan kerajaan kepada Putri Purbasari.
Berita itu diterima dengan gembira oleh kebanyakan isi istana, kecuali oleh Purbararang dan Indrajaya. Mereka pura-pura setuju, walaupun didalam hati mereka marah dan mulai mencari akal bagaimana merebut tahta dari Purbasari.
Akal itu segera mereka dapatkan. Sehari setelah ayah bunda mereka tidak berada di istana, Purbararang dengan bantuan Indrajaya menyemburkan boreh, yaitu zat berwara hitam yang dibuat dari tumbuh-tumbuhan, ke wajah dan badan Purbasari.
Akibatnya, sosok Purbasari berubah menjadi hitam kelam dan orang Pasir Batang tidak mengenalinya lagi. Itulah sebabnya, putri bungsu itu tidak ada yang menolongnya, ketika diusir dari istana.
Tak ada yang percaya, ketika dia mengatakan, bahwa dia adalah Purbasari, Ratu Pasir Batang yang baru. Di samping itu, mereka yang tahu dan menduga, bahwa gadis hitam kelam itu adalah Purbasari, tidak berani pula menolongnya. Mereka takut akan Purbararang yang terkenal kejam. Bahkan, Uwak Batara Lengser tidak berdaya mencegah tindakan Purbararang kepada adik bungsunya tersebut.
Ketika dia disuruh membawa Purbasari ke hutan, dia menurut saja. Akan tetapi setiba di hutan, Uwak Batara Lengser membuatkan gubuk yang kuat bagi putri bungsu itu. Dia pun menasehatinya dengan kata-kata lembut, “Tuan Putri bersabarlah. Jadikanlah pembuangan ini sebagai kesempatan bertapa untuk memohon perlindungan dan kasih sayang para penghuni kahyangan.” Nasehat Uwak Batara Lengser itu, mengurangi kesedihan Putri Purbasari. Dia setuju, bahwa dia akan melakukan tapa. “Bagus, Tuan Putri. Janganlah risau dan khawatir, Uwak akan sering datang kesini untuk menengok dan mengirim persediaan Tuan Putri.”
Selagi di dunia atau Buana Panca Tengah, terjadi sebuah peristiwa, yaitu pengusiran dan pembuangan Putri Purbasari ke dalam hutan, maka di Kahyangan atau Buana Pada terjadi sebuah peristiwa lain.
Berhari-hari Sunan Ambu gelisah, karena putranya Guruminda tidak muncul. Maka Sunan Ambu pun meminta para penghuni kahyangan, baik pria maupun wanita untuk dapat segera mencarinya.
Tidak lama kemudian, seorang pujangga datang dan memberitakan, bahwa Guruminda berada ditaman Kahyangan. Ditambahkan, bahwa Guruminda tampak sedang bermuram durja. Sunan Ambu meminta kepada pelayan kahyangan, agar Guruminda dipanggil, diminta untuk menghadapnya.
Agak lama Guruminda tidak memenuhi panggilan tersebut, sehingga untuk kesekian kalinya dia dipanggil kembali. Akhirnya, dia pun muncul dihadapan ibundanya, Sunan Ambu, yang telah lama menunggunya sejak tadi.
Akan tetapi, dia bertingkah laku lain dari pada biasanya. Dan dia terus saja menunduk, seakan-akan malu memandang wajah ibunya sendiri. Namun, kalau Sunan Ambu sedang tidak melihat, maka dia mencuri-curi pandang.
“Guruminda, anakku, apakah yang sedang engkau sedihkan? Ceritalah kepada Ibu,” ujar Sunan Ambu dengan lembut dan penuh kasih sayang. Guruminda tidak menjawabnya. Demikian pula ketika Sunan Ambu mengulang pertanyaannya. Karena Sunan Ambu merupakan seorang wanita yang arif, beliau segera menyadari apa yang terjadi dengan putranya.
Beliau berkata, “Ibu sadar, sekarang engkau sudah remaja. Usiamu tujuh belas tahun. Adakah bidadari yang menarik hatimu. Katakanlah pada Ibu siapa dia? Nanti Ibu akan memperkenalkanmu kepadanya.” Untuk beberapa lama Guruminda diam saja. “Guruminda, berkatalah, “ujar Sunan Ambu.
Lalu Guruminda pun berkata, walaupun perlahan-lahan sekali, dia akhirnya berusaha untuk mengungkapkan isi hatinya, “Aku tidak ingin diperkenalkan dengan bidadari manapun Ibu, kecuali dia adalah yang secantik Ibunda,” katanya.
Mendengar perkataan putranya itu, Sunan Ambu terkejut. Akan tetapi, sebagai wanita yang arif, beliau tidak kehilangan akal, apalagi marah. Beliau arif, bahwa putranya sedang menghadapi persoalan dan telah berkata jujur. Beliau pun berkata, “Guruminda, gadis yang serupa dengan Ibunda tidak ada di Buana Pada ini. Dia berada di Buana Panca Tengah. Pergilah engkau ke sana. Akan tetapi, tidak sebagai Guruminda. Kamu harus menyamar sebagai seekor kera atau lutung.”
Setelah Sunan Ambu berkata begitu, berubahlah Guruminda menjadi seekor kera atau lutung. “Pergilah anakku, ke Buana Panca Tengah, kasih sayangku akan selalu bersamamu. Kini namamu adalah Lutung Kasarung.”
Guruminda sangat terkejut dan merasa sedih, ketika menyadari, bahwa dia sudah menjadi lutung. Dia beranggapan, bahwa dirinya telah dihukum oleh Ibundanya sendiri, Sunan Ambu, karena kelancangannya. Dia cuma menunduk. “Pergilah, Anakku. Gadis itu menunggu disana dan memerlukan bantuanmu.” ujar Sunan Ambu pula.
Guruminda sadar, dengan menjadi lutung adalah sudah garis nasibnya, dan dia pun mengundurkan diri dari hadapan ibundanya. Dengan harapan akan bertemu gadis yang serupa dengan ibundanya, dia meninggalkan Buana Pada.
Dia melompat dari awan teratas ke awan yang lebih rendah dibawahnya, demikian hal itu dilakukannya terus-menerus, hingga akhirnya dia pun hampir tiba di daratan Bumi yang terhampar.
Guruminda mencari tempat yang cocok untuk turun. Ketika melihat sebuah hutan, dia pun segera melompat ke daratan Bumi. Dia melompat dari pohon ke pohon. Lutung-lutung dan monyet-monyet yang menyaksikannya, lalu mengelilinginya.
Karena mereka menyadari, bahwa Guruminda yang berganti nama menjadi Lutung Kasarung, lebih besar dan cerdas, mereka menerimanya sebagai pemimpin. Demikianlah Lutung Kasarung mengembara di dalam hutan belantara, mencari gadis yang sama cantiknya dengan ibundanya, Sunan Ambu.
Tersebutlah di kerajaan Pasir Batang, Ratu Purbararang yang hendak melaksanakan upacara. Dalam upacara itu diperlukan kurban seekor binatang. Ratu Purbararang memanggil Aki Panyumpit. “Aki!” katanya, “Tangkaplah seekor hewan untuk dijadikan kurban dalam upacara. Kalau engkau tidak mendapatkannya nanti siang, kamu sendiri yang akan jadi penggantinya.”
Dengan ketakutan yang luar biasa, Aki Panyumpit tergesa-gesa masuk ke dalam hutan belantara. Akan tetapi, tidak seekor bajingpun di temukannya. Binatang-binatang sudah diberi tahu oleh Lutung Kasarung, agar bersembunyi. Lalu, berjalanlah Aki Panyumpit kian kemari di dalam hutan itu, hingga dia kelelahan.
Dia akhirnya duduk dibawah pohon dan menangis karena putus asa. Pada saat itulah Lutung Kasarung turun dari pohon dan duduk dihadapan Aki Panyumpit. Aki Panyumpit segera mengambil sumpitnya dan membidik kearah Lutung Kasarung.
Namun Lutung Kasarung berkata, “Janganlah menyumpit aku, karena aku tidak akan mengganggumu. Aku datang kemari karena melihat kakek sedang bersedih.”
Aki Panyumpit terkejut mendengar lutung dapat berbicara. “Mengapa kakek bersedih?” tanya Lutung Kasarung.
Ditanya demikian, Aki Panyumpit menceritakan apa yang dialaminya. “Kalau begitu, bawalah aku ke istana kakek,” ujar Lutung Kasarung.
“Tetapi, engkau akan dijadikan kurban!” kata Aki Panyumpit yang menyukai Lutung Kasarung. “Aku tidak rela kamu dijadikan kurban,” lanjut Aki Pannyumpit.
“Tetapi kalau kakek tidak berhasil membawa hewan, kakek sendiri yang akan disembelih sebagai kurban, benar kan?” jawab Lutung Kasarung.
Aki Panyumpit tidak dapat berkata-kata lagi karena bingung akan pertanyaan dari Lutung Kasarung.
“Oleh karena itu, bawalah aku ke istana. Dan janganlah kakek merasa khawatir,” Kata Lutung Kasarung.
“Baiklah, kalau begitu”, kata Aki Panyumpit. Mereka pun akhirnya keluar dari hutan, dan menuju kerajaan Pasir Batang.
Setibanya di alun-alun kerajaan, beberapa prajurit memegang dan mengikat Lutung Kasarung yang dibawa oleh Aki Panyumpit. Prajurit lain mengasah pisau untuk menyembelihnya.
Lutung Kasarung yang sudah di ikat, kemudian dibawa ketengah alun-alun. Di sana Purbararang dan Indrajaya, serta para pembesar kerajaan sudah hadir. Demikian pula lima putri adik-adik Purbararang.
Saat itu, segala perlengkapaan upacara sudah dipersiapkan. Seorang pendeta sudah mulai menyalakan dupa kemenyan dan berdoa. Seorang prajurit dengan pisau yang sangat tajam, berjalan dan bersiap-siap akan melaksanakan tugasnya. Dia memegang kepala Lutung Kasarung. Akan tetapi, tiba-tiba Lutung Kasarung menggeliat.
Tambang-tambang ijuk yang mengikat tubuhnya, satu persatu mulai putus dan kemudian dia pun bebas. Dia lalu memporak-porandakan perlengkapan upacara tersebut. Para putri dan wanita-wanita bangsawan menjerit ketakutan. Para prajurit mencabut dan menghunus senjatanya dan berusaha untuk membunuh Lutung Kasarung. Namun, tidak seorang pun yang sanggup mendekatinya.
Lutung Kasarung sangat lincah dan tangkas. Dia melompat- lompat kesana kemari, di tengah-tengah hadirin yang sedang panik lari kocar-kacir demi menyelamatkan diri mereka masing-masing.
Lutung Kasarung sengaja merusak barang-barang dan perlengkapan yang ada disana. Dia melompat ke panggung, tempat para putri menenun dan merusak perlengkapan tenunnya.
Setelah hadirin melarikan diri dan prajurit-prajurit kelelahan, Lutung Kasarung duduk di atas benteng yang mengelilingi halaman dalam istana .
Dari dalam istana, Purbararang dan adik-adiknya memandanginya dengan keheranan dan ketakutan. Indrajaya ada pula disana, ikut bersembunyi dengan putri-putri dan para wanita.
Purbararang kemudian menjadi marah, “Bunuh dia! Ayo lekas bunuh lutung itu!” teriaknya. Beberapa orang prajurit maju dan akan mengepung Lutung Kasarung lagi. Akan tetapi, Lutung Kasarung segera menyerang mereka dan membuat mereka lari ketakutan ke berbagai arah.
Uwak Batara Lengser adalah orang tua yang bijaksana, walaupun sudah tua namun tetap gagah berani. Dia berjalan menuju Lutung Kasarung dan berdiri di dekatnya. Ternyata, Lutung Kasarung tidak memperlihatkan sikap permusuhan kepadanya. “Kemarilah Lutung, janganlah kamu nakal dan menakut-nakuti orang, kamu anak yang baik.”
Pada saat itu, beberapa orang prajurit mencoba menyergap Lutung Kasarung. Namun, Lutung Kasarung selalu waspada. Dia menyerang balik, mencakar, dan menggigit mereka. Mereka tunggang langgang melarikan diri dan tidak berani muncul kembali. Setelah itu, Lutung Kasarung kembali kepada Uwak Batara Lengser dan seperti seorang anak yang baik, duduk didekat kaki orang tua itu.
Purbararang yang melihat pemandangan itu dari jauh, timbul niat jahatnya. Lutung yang besar dan jahat itu sebaiknya dikirim ke hutan tempat Purbasari berada, pikirnya. Kalau Purbasari tewas diterkam lutung itu, maka dia akan tenang menduduki tahta Kerajaan Pasir Batang. Cara mengirim lutung itu tampaknya dapat dilaksanakan melalui Uwak Batara Lengser, karena lutung itu tidak memperlihatkan sikap permusuhan terhadap Uwak Batara Lengser.
Berkatalah Purbararang kepada Uwak Batara Lengser, meminta orang tua itu mendekat. Orang tua itu menurut, “Uwak Batara Lengser, singkirkan lutung yang galak itu ke hutan. Tempatkan dia bersama Purbasari. Kalau sudah jinak, kita kurbankan nantinya.”
Uwak Batara Lengser tahu maksud Purbararang, tetapi dia menurut saja. Dia pun tidak yakin apakah lutung itu akan mencederai Purbasaari, karena dia melihat sesuatu yang aneh pada lutung itu. Itulah sebabnya dia mengulurkan tangan pada lutung itu sambil berkata, “Marilah kita pergi, lutung. Engkau akan kubawa ke sebuah tempat yang lebih baik dan cocok bagimu.” Lutung itu menurut. Uwak Batara Lengser pun menuntunnya meninggalkan tempat itu dan menuju ke hutan.
Sesampainya di hutan, Uwak Batara Lengser berseru kepada Purbasari memberitahukan kedatangannya. Purbasari keluar dari gubuk dengan gembira. Lutung Kasarung melihat seorang gadis yang kulitnya hitam kelam di celup boreh. Dia tertegun sejenak, sehingga Uwak Batara Lengser berkata kepadanya, “Itu Putri Purbasari. Dia gadis yang manis dan baik hati. Engkau harus menjaganya.”
“Ya, baiklah,” kata Lutung Kasarung.
Uwak Batara Lengser dan Purbasari keheranan. Akan tetapi, Uwak Batara Lengser berkata, “Semoga kedatanganmu ke Pasir Batang, dikirim oleh Kahyangan untuk kebaikan kita semua.”
Setelah Uwak Batara Lengser pergi, Lutung Kasarung meminta bantuan kawan-kawannya mengumpulkan buah-buahan dan bunga-bungaan untuk Purbasari. Putri itu benar-benar terhibur dalam kesedihannya. Dia pun tidak merasa kesunyian lagi. Bukan saja Lutung Kasarung yang selalu ada didekatnya, akan tetapi binatang-binatang lain, seperti rusa, bajing, dan burung-burung berbagai jenis, berkumpul di gubuknya.
Ketika malam tiba, Lutung Kasarung berdoa, memohon kepada Ibunda Sunan Ambu, agar membantunya. Sunan Ambu mendengar doanya dan memerintahkan kepada beberapa orang pujangga dan pohaci, agar turun ke Bumi untuk membantu Lutung Kasarung.
Ketika utusan para pujangga itu tiba di hutan, Lutung Kasarung meminta kepada mereka agar dibuatkan tempat mandi bagi Purbasari. Para pujangga yang sakti itu membantu Lutung Kasarung dalam membuat jamban salaka, tempat mandi dengan pancuran emas dan lantai, serta dinding pualam.
Airnya dialirkan dari mata air yang jernih yang ditampung dulu di dalam sebuah telaga kecil. Ke dalam telaga kecil itu lalu ditaburkan berbagai macam bunga-bungaan yang wangi semerbak. Sementara itu, para pohaci menyiapkan pakaian bagi Purbasari. Pakaian itu bahannya dari awan dan warnanya dari pelangi. Tak pernah ada pakaian yang memiliki keindahan seperti itu di muka Bumi.
Keesokan harinya, Purbasari sangat terkejut melihat Jamban Salaka itu. Akan tetapi, Lutung Kasarung mengatakan kapadanya, bahwa dia tidak perlu merasa heran. Kebaikan hati Purbasari, telah menimbulkan kasih sayang Kahyangan kepadanya.
“Jamban Salaka dan pakaian yang tersedia di dalamnya adalah hadiah dari Buana Pada bagi Tuan Putri,” kata Lutung Kasarung
“Kau sendiri adalah hadiah dari Buana Pada bagiku, Lutung,” kata Purbasari, lalu memasuki Jamban Salaka. Ternyata, air di Jamban Salaka memiliki khasiat yang tidak ada pada air yang biasa dipergunakan Purbasari.
Ketika air itu dibilaskan, hanyutlah boreh dari kulit Purbasari. Kulitnya yang kuning langsat muncul kembali, bahkan lebih cemerlang dari sebelumnya. Dalam kegembiraannya, Purbasari tidak putus-putusnya mengucapkan syukur kepada Kahyangan yang telah mengasihinya.
Selesai mandi, dia mengambil pakaian buatan para pohaci. Dia terpesona oleh keindahan pakaian yang dilengkapi perhiasan-perhiasan yang indah itu yang belum pernah disaksikannya sebelumnya. Dia pun segera mengenakannya, lalu keluar dari Jamban Salaka. “Lutung, lihatlah! Apakah pakaian ini cocok bagiku?”
Lutung Kasarung sendiri terpesona dengan apa yang sedang disaksikannya. Dalam hatinya dia berkata, “Putri Purbasari, engkau seperti kembaran Ibunda Sunan Ambu, hanya saja jauh lebih muda daripada beliau.”
“Lutung, pantaskah pakaian ini bagiku?” tanya Purbasari pula.
“Para pohaci sengaja mencocokkannya bagi Tuan Putri,” jawab Lutung Kasarung seraya bersyukur dalam hatinya dan memuji kebijaksanaan Ibunda Sunan Ambu.
Peristiwa di dalam hutan itu, akhirnya terdengar juga oleh Purbararang. Rakyat Kerajaan Pasir Batang yang biasa mencari buah-buahan atau berburu ke hutan membawa kabar aneh. Mereka bercerita tentang hutan yang berubah menjadi taman, tentang gubuk gadis hitam yang berubah menjadi istana kecil, tentang tempat mandi yang sangat indah, dan pimpinan seekor lutung yang sangat besar. Seekor lutung besar yang menyebabkan mereka tidak berani memasuki taman itu.
Kabar aneh itu membuat Purbararang penasaran. Dia menduga ada bangsawan-bangsawan Pasir Batang yang diam-diam membantu Purbasari. Dia pun menjadi marah dan berpikir mencari jalan untuk mencelakakan Purbasari. Dia segera menemukan jalan karena kebusukan hatinya, untuk mecelakakan adik kandung bungsunya itu.
Purbararang berpendapat, para bangsawan Pasir Batang yang berpihak pada Purbasari tidak akan berani membantu adiknya itu secara terang-terangan. Oleh karena itu, Purbasari harus ditantang dalam sebuah pertandingan terbuka.
Para bangsawan dapat membuatkan Purbasari taman, istana kecil, dan Jamban Salaka. Itu mereka lakukan sembunyi-sembunyi dalam waktu yang lama, pikir Purbararang. Kalau Purbasari diharuskan membuat huma dalam satu hari seluas lima ratus depa, tak ada yang berani atau dapat membantunya. Dia sendiri dengan mudah akan dapat membuka huma ribuan depa dengan bantuan para prajurit.
Maka dia pun memanggil Uwak Batara Lengser dan berkata, “Uwak, berangkatlah ke hutan. Sampaikan pada Purbasari, bahwa aku menantangnya berlomba untuk membuat huma. Purbasari harus membuat huma seluas lima ratus depa dan harus selesai sebelum fajar besok. Kalau tidak dapat menyelesaikannya, atau tidak dapat mendahului aku, maka dia akan aku hukum pancung.”
Uwak Batara Lengser segera pergi kehutan. Dia disambut oleh Purbasari dan Lutung Kasarung. Ketika mendengar berita yang menakutkan itu, Purbasari pun menangis. “Kalau nasib aku harus mati muda, maka aku rela. Yang menyebabkan aku menangis adalah tindakan kakanda Purbararang. Begitu besarkah kebenciannya kepada diriku ini?”
Lutung Kasarung berkata, “Jangan khawatir Tuan Putri, Kahyangan tidak akan melupakan orang yang tidak bersalah.”
Sementara ketiga orang itu sedang berbicara di dalam hutan, Purbararang tidak menyia-nyiakan waktunya. Dia memanggil seratus orang prajurit dan memerintahkan, agar mereka membuka hutan untuk huma di dekat tempat tinggal Purbasari. Huma harus selesai keesokan harinya. Kalau tidak selesai, para prajurit itu akan dihukum pancung. Para prajurit yang ketakutan, segera berangkat ke hutan dan langsung bekerja keras membuka hutan. Mereka terus bekerja, walaupun malam datang dan mulai tampak gelap, mereka terpaksa menggunakan obor yang banyak jumlahnya.
Sementara itu Lutung Kasarung mempersilahkan Purbasari masuk kedalam istana kecilnya untuk beristirahat. “Serahkanlah pekerjaan membuat huma itu kepada aku, Tuan Putri,” katanya.
Ketika Purbasari sudah masuk ke dalam istana kecilnya, Lutung Kasarung segera berdoa, memohon bantuan Ibunda Sunan Ambu dari Buana Pada. Doanya di dengar dan Sunan Ambu mengutus empat puluh orang pujangga untuk membuat huma. Lahan yang dipilih adalah sebidang huma yag sudah terbuka dan cocok untuk ditanami padi. Huma itu letaknya tidak jauh dari hutan yang sedang dibuka oleh prajurit-prajurit Pasir Batang.
Keesokan harinya ketika matahari terbit, berangkatlah rombongan dari istana Pasir Batang menuju hutan. Purbararang duduk diatas tandu yang dihiasi sutra dan permata yang gemerlapan. Sementara itu tunangannya, Indrajaya, menunggang kuda di sampingnya. Lima orang putri bersaudara ada pula dalam rombongan bersama sejumlah bangsawan. Ratusan prajurit mengawal. Tak ketinggalan seorang algojo dengan kapak besarnya.
Purbararang yakin, hari itu dia akan dapat menghukum pancung adiknya, Purbasari. Akan tetapi, dia dan rombongannya sangat terkejut bukan main, sebab disamping huma yang dibuka para prajurit, telah ada pula huma lain yang lebih bagus.
Di tengah huma itu berdiri Uwak Batara Lengser dan Lutung Kasarung. “Gusti Ratu,” kata Uwak Batara Lengser, “Inilah huma Putri Purbasari.”
Purbararang benar-benar kecewa, malu, dan marah. Dia berteriak, “Baik, tetapi sekarang aku menantang Purbasari bertanding kecantikan denganku. Kalianlah yang akan menilai,” katanya seraya berpaling pada khalayak.
Purbararang menyangka Purbasari masih hitam kelam seperti yang dibayangkannya, karena boreh. “Uwak, suruh dia keluar dari rumahnya. Sekarang!”
Uwak Batara Lengser mempersilahkan Purbasari keluar dari istana kecilnya. Purbasari muncul dan orang-orang memadangnya dengan takjub. Banyak yang lupa bernapas dan berkedip, ketika menyaksikan kecantikan yang sangat luar biasa dari Purbasari. Banyak pula yang lupa menutup mulutnya karena ternganga oleh pesona yang mereka saksikan itu.
Begitu cantiknya Purbasari, sehingga salah seorang bangsawan berkata, “Saya seakan-akan melihat Sunan Ambu turun ke Bumi.”
Melihat hal itu, mula-mula Purbararang kecut nyalinya. Akan tetapi dia ingat, bahwa dia masih punya harapan untuk menang. Dia berteriak, “Purbasari, marilah kita bertanding rambut. Siapa yang lebih panjang, maka dia akan menang. Lepas sanggulmu!” Sambil berkata begitu, Purbararang berdiri dan melepas sanggulnya. Rambutnya yang hitam dan lebat terurai, hingga kepertengahan betisnya.
Purbasari terpaksa menurut. Dia pun melepas sanggulnya. Rambutnya yang hitam berkilat dan halus bagai sutra, bergelombang bagaikan air terjun hingga ke tumitnya. Lagi-lagi Purbararang terpukul kembali dengan kekalahan yang diperolehnya. Akan tetapi, dia seperti tidak pernah kehabisan akal, meski sudah kali berkali-kali oleh perlombaan yang dibuatnya sendiri.
Dia ingat, bahwa dia mempunyai pinggang yang sangat ramping. Kemudian Ratu yang sombong dan angkuh ini kembali menantang dan berkata, “Lihat semua. Ikat pinggang yang kupakai ini bersisa lima lubang. Kalau Purbasari menyisakan kurang dari lima lubang, dia akan dihukum pancung.” Seraya berkata begitu, dia lalu melepas ikat pinggang emas bertahta permata dan melemparkannya kepada Purbasari. Purbasari memakainya dan ternyata tersisa tujuh lubang.
Sekarang Purbararang menjadi bukan main kalapnya, karena sudah bertubi-tubi dikalahkan oleh adiknya yang cantik dan baik itu. Dia berteriak dengan geram, “Hai orang-orang Pasir Batang, masih ada satu pertandingan yang tidak mungkin dimenangkan oleh Purbasari. Tebaklah oleh kalian apa pertandingan itu?!” katanya seraya melihat wajah-wajah bangsawan Pasir Batang yang berdiri didekatnya dengan raut wajah bingung seperti berfikir keras.
“Pertandingan apa itu, Kakanda?” kata salah seorang di antara adiknya yang lima.
Dia tertawa, karena yakin dia akan menang dalam pertandingan terakhir kali ini. Purbararang tersenyum. “Dengarkan baik-baik!” katanya pula, “Dalam pertandingan ini, kalian harus membandingkan siapa di antara calon suami kami yang lebih tampan. Lihat kepada tunangan saya, Indrajaya. Bagaimana pendapat kalian? Tampankah dia?”
Untuk beberapa lama tidak ada yang menjawab. Mereka bingung dan terkejut. Purbararang membentak, “Jawab! Tampankah dia?” Orang-orang itupun dengan sangat terpaksa lalu menjawab, “Tampan, Gusti Ratu.” Purbararang tidak puas, “Lebih nyaring dan keras lagi!”
“Tampan Gusti Ratu!”
Sambil tersenyum Purbararang melihat kearah Purbasari yang berdiri dekat Uwak Batara Lengser dan Lutung Kasarung. “Dengarkanlah, Purbasari. Sekarang kamu tidak bisa lolos. Kita akan bertanding membandingkan ketampanan calon suami. Calon suamiku adalah Indrajaya yang tampan dan gagah itu. Siapakah calon suamimu itu?” Purbasari kebingungan. “Siapa lagi calon suamimu, kecuali lutung besar yang jelek itu?!” teriak Purbararang seraya menunjuk ke arah Lutung Kasarung. Lalu kembali dia tertawa dengan akal liciknya itu.
Purbasari terdiam. Dia memandang ke arah Lutung Kasarung. Semua yang hadir disitu pun terdiam. Algojo melangkah ke arah Purbasari, seraya memutar-mutar kapaknya yang lebar dan tebal. Seraya memandang ke arah Lutung Kasarung dan sambil tersenyum sayu Purbasari berkata, “Memang, seharusnya kamu menjadi calon suamiku, Lutung.”
Mendengar apa yang diucapkan Purbasari itu, gembiralah Purbararang. Sekarang dia dapat membinasakan Purbasari dari kedengkiannya. Akan tetapi, sesuatu yang ajaib terjadi. Mendengar perkataan Purbasari tadi, Lutung Kasarung berubah, kembali ke asalnya sebagai Guruminda yang gagah dan tampan. Semua orang terheran-heran dan terpesona oleh ketampanan Guruminda.
Guruminda sendiri memegang tangan Purbasari dan berkata, “Ratu kalian yang sebenarnya adalah Purbasari, telah mengatakan bahwa saya sudah seharusnya menjadi calon suaminya. Sebagai calon suaminya, saya harus selalu berada disampingnya untuk melindungi dan membantunya. Tahtanya telah direbut oleh Purbararang selama ini dengan kelicikannya. Sebagai tunangan Purbararang, engkau harus berada di pihaknya, Indrajaya. Oleh karena itu, marilah kita berperang tanding.”
Indrajaya bukannya siap berperang tanding, tetapi malah berlutut dan menyembah kepada Guruminda, mohon ampun dan dikasihani. Melihat kejadian itu, Purbararang menangis dan minta maaf kepada Purbasari. Sementara itu, para bangsawan dan prajurit serta rakyat justru bergembira. Mereka akan terbebas dari ketakutan dan tekanan para pendukung Purbararang.
Pada hari itu juga, Ratu Purbasari kembali ke Kerajaan dengan didampingi oleh calon suaminya, Guruminda. Purbararang dan Indrajaya dihukum atas perbuatannya dan dipekerjakan sebagai tukang sapu di taman istana.
Rakyat merasa lega dan berbahagia. Mereka kembali bekerja dengan rajin seperti di jaman pemerintahan Prabu Tapa Agung. Berkat bantuan Guruminda, Purbasari memerintah dengan cakap dan sangat bijaksana. Rakyat Kerajaan Pasir Batang merasa terlindungi, suasana aman, damai, dan tentram, sehingga mereka bisa bekerja dengan tenang. Dan pada akhirnya, kemakmuran dapat mereka peroleh secara nyata dan merata kembali.
(",)v
Labels:
Cerita Rakyat,
Legenda
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Powered by Blogger.
No comments:
Post a Comment
“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”