Monday 9 July 2012

Asal-Usul Nama Kota Banjarmasin



Sebagian besar dari kita pasti banyak yang belum tahu darimanakah nama kota “Banjarmasin” berasal. Maka dari itu, kisah berikut ini menjelaskan bagaimana asal-usul nama ibukota dari provinsi “Kalimantan Selatan” ini.

Pada zaman dahulu kala, berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Nagara Daha. Kerajaan itu didirikan oleh Putri Kalungsu bersama putranya, Raden Sari Kaburangan alias Sekar Sungsang, yang bergelar Panji Agung Maharaja Sari Kaburangan.

Konon, Sekar Sungsang ialah seorang penganut Syiwa. Ia mendirikan candi dan lingga terbesar yang ada di Kalimantan Selatan. Candi yang didirikan itu bernama Candi Laras.

Pengganti Sekar Sungsang adalah Maharaja Sukarama. Pada masa pemerintahannya, pergolakan berlangsung terus-menerus. Walaupun Maharaja Sukarama mengamanatkan agar cucunya, Pangeran Samudera, kelak menggantikan tahtanya, namun Pangeran Mangkubumi-lah yang akhirnya naik takhta.

Kerajaan tidak hentinya mengalami kekacauan, oleh karena perebutan kekuasaan. Konon, siapa pun menduduki takhta akan merasa tidak aman dari rongrongan. Pangeran Mangkubumi akhirnya terbunuh dalam suatu usaha perebutan kekuasaan. Sejak saat itulah, Pangeran Tumenggung menjadi penguasa kerajaan selanjutnya.

Pewaris kerajaan yang sah, Pangeran Samudera, pasti tidak aman jika tetap tinggal dalam Lingkungan kerajaan. Atas bantuan patih Kerajaan Nagara Daha, Pangeran Samudera pun akhirnya melarikan diri.

Ia menyamar dan hidup di daerah sepi yang ada di sekitar muara Sungai Barito. Dari Muara Bahan, bandar utama Nagara Daha, mengikuti aliran sungai hingga ke muara Sungai Barito.

Disana terdapat kampung-kampung yang berbanjar-banjar atau berderet-deret melintasi tepi-tepi sungai. Kampung-kampung itu adalah Balandean, Sarapat, Muhur, Tamban, Kuin, Balitung, dan Banjar.

Di antara kampung-kampung itu, Banjar-lah yang paling bagus dan strategis letaknya. Kampung Banjar dibentuk oleh lima aliran sungai yang muaranya bertemu di Sungai Kuin.

Karena letaknya yang bagus itu, maka kampung Banjar kemudian berkembang menjadi bandar, kota perdagangan yang ramai dikunjungi oleh kapal-kapal dagang dari berbagai negeri.

Bandar itu di bawah kekuasaan seorang patih yang biasa disebut Patih Masih. Dan Bandar itu juga dikenal dengan nama Bandar Masih.

Patih Masih mengetahui bahwa Pangeran Samudera, pemegang hak atas Nagara Daha yang sah, ada di wilayahnya. Kemudian, ia mengajak Patih Balit, Patih Muhur, Patih Balitung, dan Patih Kuin untuk berunding.

Mereka bersepakat untuk mencari Pangeran Samudera di tempat persembunyiannya untuk dinobatkan menjadi raja, memenuhi wasiat Maharaja Sukarama.

Dengan diangkatnya Pangeran Samudera menjadi raja dan Bandar Masih sebagai pusat kerajaan sekaligus bandar perdagangan, semakin terdesaklah kedudukan Pangeran Tumenggung.

Apalagi para patih tidak mengakuinya lagi sebagai raja yang sah. Mereka pun tidak rela menyerahkan upeti kepada Pangeran Tumenggung di Nagara Daha.

Pangeran Tumenggung tidak tinggal diam menghadapi keadaan itu. Tentara dan armada diturunkannya ke Sungai Barito, sehingga terjadilah pertempuran secara besar-besaran.

Peperangan itupun berlanjut terus, belum ada kepastian pihak mana yang menang. Patih menyarankan kepada Pangeran Samudera agar minta bantuan ke Demak. Konon menurut Patih Masih, saat itu Demak menjadi penakluk kerajaan-kerajaan yang ada di Jawa dan menjadi kerajaan terkuat setelah Majapahit.

Pangeran Samudera pun mengirim Patih Balit ke Demak. Demak setuju nnemberikan bantuan, asalkan Pangeran Samudera setuju dengan syarat yang mereka ajukan, yaitu mau memeluk agama Islam.

Pangeran Samudera bersedia menerima syarat itu. Kemudian, sebuah armada besar pun pergi menyerang pusat Kerajaan Nagara Daha. Armada besar itu terdiri atas tentara Demak dan sekutunya dari seluruh Kalimantan, yang membantu Pangeran Samudera dan para patih pendukungnya.

Kontak senjata pertama terjadi di Sangiang Gantung. Pangeran Tumenggung berhasil dipukul mundur dan bertahan di muara Sungai Amandit dan Alai. Korban berjatuhan di kedua belah pihak. Panji-panji Pangeran Samudera, Tatunggul Wulung Wanara Putih, semakin banyak berkibar di tempat-tempat taklukannya.

Hati Arya Terenggana, Patih Nagara Dipa, sedih melihat demikian banyak korban rakyat jelata dari kedua belah pihak. Ia mengusulkan kepada Pangeran Tumenggung suatu cara untuk mempercepat selesainya peperangan, yakni melalui perang tanding atau duel antara kedua raja yang bertikai.

Cara itu diusulkan untuk menghindari semakin banyaknya korban di kedua belah pihak. Pihak yang kalah harus mengakui kedaulatan pihak yang menang. Usul Arya Terenggana ini diterima oleh kedua belah pihak.





Pangeran Tumenggung dan Pangeran Samudera naik sebuah perahu yang disebut talangkasan. Perahu-perahu itu dikemudikan oleh panglima kedua belah pihak. Kedua pangeran itu memakai pakaian perang, serta membawa parang, sumpitan, keris, dan perisai atau telabang.

Mereka saling berhadapan di Sungai Parit Basar. Pangeran Tumenggung dengan nafsu angkaranya ingin membunuh Pangeran Samudera. Sebaliknya, Pangeran Samudera tidak tega berkelahi melawan pamannya sendiri.

Oleh sebab itu, Pangeran Samudera mempersilahkan pamannya untuk membunuhnya. Ia rela mati di tangan orang tua yang pada dasarnya tetap diakui sebagai pamannya itu.

Akhirnya, luluh juga hati Pangeran Tumenggung. Kesadarannya akhirnya muncul. Ia mampu menatap Pangeran Samudera bukan sebagai musuh, tetapi melainkan sebagai keponakannya yang di dalam tubuhnya mengalir darahnya sendiri.

Dengan perasaan penuh haru, Pangeran Tumenggung melemparkan senjatanya. Kemudian Pangeran Samudera dipeluknya dengan rasa kasih sayang. Dan mereka pun bertangis-tangisan.

Dengan hati yang tulus, Pangeran Tumenggung menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Samudera. Artinya, Nagara Daha ada di tangan Pangeran Samudera. Akan tetapi, Pangeran Samudera bertekad menjadikan Bandar Masih atau Banjar Masih sebagai pusat pemerintahan, sebab bandar itu lebih dekat dengan muara Sungai Barito yang telah berkembang menjadi kota perdagangan.

Tidak hanya itu, rakyat Nagara Daha pun dibawa ke Bandar Masih atau Banjar Masih. Pangeran Tumenggung diberi daerah kekuasaan di Batang Alai dengan seribu orang penduduk sebagai rakyatnya. Nagara Daha pun menjadi daerah kosong.

Sebagai seorang raja yang beragama Islam, Pangeran Samudera mengubah namanya menjadi Sultan Suriansyah. Hari kemenangan Pangeran Samudera atau Sultan Suriansyah, 24 September 1526, dijadikan hari jadi kota Banjar Masih atau Bandar Masih.

Karena setiap kemarau landang (panjang) air menjadi masin (asin), maka lama-kelamaan nama Bandar Masih atau Banjar Masih menjadi Banjarmasin.

Akhirnya, Sultan Suriansyah pun meninggal. Makamnya sampai sekarang terpelihara dengan baik dan ramai dikunjungi orang. Letaknya di Kuin Utara, di pinggir Sungai Kuin, Kecamatan Banjar Utara, Kota Madya Daerah Tingkat II Banjarmasin.

Setiap tanggal 24 September, Wali Kota Madya Banjarmasin dan para pejabat berziarah ke makam itu, untuk memperingati kemenangan Sultan Suriansyah atas Pangeran Tumenggung. Sultan Suriansyah adalah sultan atau raja Banjar pertama yang beragama Islam.

(",)v

No comments:

Post a Comment

“Hello friend, jika artikel di atas menarik menurut kamu, jangan lupa berikan sepatah dua patah kata komentarnya ya.”

Powered by Blogger.